PRINSIP KONSUMSI DALAM ISLAM[1]

Selasa, 18 Mei 2010

Hendri Tanjung[2]

Perbedaan antara ilmu ekonomi modern dan ilmu ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi modern. Etika Ilmu ekonomi Islam berusaha untuk mengurangi kebutuhan material yang luar biasa sekarang ini, untuk menghasilkan energi manusia dalam mengejar cita-cita spiritualnya.

Ajaran konsumsi dalam Islam. Menurut Afzalurrahman[3], unik, pertama, tidak ada perbedaan antara belanja spiritual maupun duniawi, Lihat Qs 2: 215. Kedua, konsumsi tidak dibatasi hanya pada kebutuhan pokok, tapi juga mencakup kesenangan-kesenangan dan bahkan barang-barang mewah yang dihalalkan asal tidak berlebihan (Nabi Sulaiman, Usman bin Affan).

Islam mengenal adanya berbagai tingkat kebutuhan: Kebutuhan pokok (Dhoruriyah), kebutuhan sekunder (Hajiyah) dan kebutuhan tersier (Tahsiniyah).

Adapun tentang kebutuhan pokok (primer), Al-Qur’an memberikan gambaran yang sangat jelas. Untuk pangan, lihat Qs 20:54, 80:25-32, 23:21, 34:15, bahkan dalam rangka menggambarkan surga, makananpun disebut, lihat Qs 19:61-62, 2:35. Untuk sandang, lihat Qs 16:81, 7:26, 20:117-119, 16:4-5. Sedangkan untuk kebutuhan papan, lihat Qs 26:128-129, 27:18, 44, serta Qs 7:74.

Sedangkan untuk kebutuhan sekunder dan tersier, Allah berfirman :”Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang disediakan untuk hamba-hambanya, serta rezeki yang baik?” (Qs 7: 32). Namun perhiasan dan keindahan itu hanya boleh dinikmati sewajarnya. “Barangsiapa makan atau minum dari mangkuk emas dan perak, berarti dia telah memasukkan api ke dalam perutnya (HR Malik dalam Muwaththa). Anas Bin Malik mengisahkan :”Siapapun (laki-laki) yang memakai pakaian sutra di dunia ini, maka dia tidak akan memakainya di akherat kelak” (Muwaththa). Abu Hurairah juga meriwayatkan bahwa Nabi telah melarang pemakaian cincin emas (bagi laki-laki) (HR Bukhari).

Berdasarkan hal diatas, Islam menciptakan manajemen konsumsi dalam 5 prinsip yang mudah untuk diamalkan :

Prinsip pertama adalah prinsip keadilan.

“Wahai manusia, makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu” (Qs al-Baqarah,2 : 168). Prinsip keadilan yang dimaksud adalah mengkonsumsi sesuatu yang halal (tidak haram) dan baik (tidak membahayakan tubuh).

Kaum Muslimin diperintahkan untuk mengkonsumsi yang baik dan suci, “ Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), Apakah yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah, Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang baik-baik...” (Qs 5:4). Bahkan kata ‘Thayyibat’ (baik-baik) diulang 18 kali dalam Al-Qur’an.

Allah mengharamkan darah, daging binatang yang telah mati sendiri dan daging babi (Qs al-Baqarah,2:173) karena berbahaya bagi tubuh. Allah mengharamkan daging binatang yang ketika di sembelih diserukan nama selain Allah dengan maksud dipersembahkan sebagai kurban untuk menyembah berhala dan persembahan bagi orang-orang yang dianggap suci atau siapapun selain Allah (Qs al-Baqarah, 2 : 54) karena berbahaya bagi moral dan spiritual karena hal-hal ini sama dengan mempersekutukan Tuhan. Kelonggaran diberikan bagi orang yang terpaksa, dan bagi orang yang suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan. Ia boleh memakan makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.

Prinsip kedua adalah prinsip kebersihan.

“Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya” (HR Tarmidzi). Prinsip kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus baik, tidak kotor dan menjijikkan sehingga merusak selera. Nabi juga mengajarkan agar tidak meniup makanan:”Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke dalam gelas” (HR Bukhari).

Abu Al-Ahwas meriwayatkan dari ayahnya bahwa beliau mendatangi Nabi dengan berpakaian kotor. Nabi bertanya kepadanya “Apakah kamu orang kaya?” Dia menjawab “Ya”. Lalu Nabi bertanya kepadanya tentang jenis kekayaan apa saja yang dimiliki. Dia menjawab bahwa Allah telah mengaruniakan kepadanya unta, kambing, kuda dan budak-budak. Kemudian nabi bersabda: “Bila Allah mengaruniakan nikmat-Nya kepadamu, Dia ingin jejak-jejak pengaruhnya tampak pada dirimu” (HR Abu Dawud).

Untuk pakaian dan tempat tinggal, Nabi bersabda “Allah itu indah dan dia mencintai keindahan” (HR Muslim). Dalam hadist lain, Nabi bersabda:”Allah mewajibkan seseorang untuk menciptakan keindahan dalam segala hal” (HR Muslim).

Makna kebersihan yang lain adalah membersihkan harta kita atau pendapatan kita sebelum dikonsumsi dengan berzakat. Hal ini menjadi penting, karena jika kita memakan harta kita sampai habis tanpa mengeluarkan zakatnya terlebih dahulu, maka menurut Abu Dzar, sama artinya dengan kita mencuri harta orang lain kemudian memakannya.

Prinsip ketiga adalah prinsip kesederhanaan.

Kesederhanaan ini bermakna tidak berlebih-lebihan. “Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Qs al-A’raf, 7 : 31). Arti penting ayat-ayat ini adalah bahwa kurang makan dapat mempengaruhi jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi dengan berlebih-lebihan tentu akan berpengaruh pada perut. Di sisi lain, berlebih-lebihan termasuk mengikuti langkah-langkah syetan.

Dari sisi ekonomi, pengeluaran yang melampaui batas (berlebih lebihan) akan menimbulkan kemalasan, pemborosan, serta tumbuhnya industri-industri yang tidak produktif dan mewah.

Menurut Afzalur Rahman, pemborosan paling tidak mengandung tiga arti: (1) membelanjakan harta untuk hal-hal yang diharamkan, seperti judi, minuman keras, dan lain-lain, (2) Pengeluaran yang berlebih-lebihan untuk barang-barang yang halal, baik di dalam, apalagi diluar batas kemampuan seseorang, (3) Pengeluaran untuk amal shaleh, tapi diniatkan untuk pamer (riya).

Al-Qur’an mengambil jalan tengah dalam mengkonsumsi sesuatu, tidak berlebih-lebihan (materialisme) dan juga tidak berpantang dari kenikmatan yang baik dan suci (asketisme). Asketisme dilarang oleh Rasulullah, ketika beberapa sahabat memutuskan untuk berpuasa sepanjang hari dan tidak tidur pada malam harinya, tetapi Rasulullah melarang dengan Sabdanya:

“Aku tidak diperintahkan untuk melakukan hal-hal semacam itu. Kalian punya kewajiban terhadap diri kalian sendiri; kalian dapat berpuasa dan juga dapat makan di hari-hari yang lain; kalian dapat sholat di malam hari dan juga menikmati tidur. Lihatlah Aku! Aku tidur dan juga sholat, kadang-kadang aku berpuasa dan kadang-kadang tidak, aku makan daging dan mentega. maka barang siapa tidak mengikuti hidupku maka dia bukan termasuk golonganku”(HR Bukhari)”.

Kesederhanaan juga bermakna tidak kikir. Kekikiran mengandung dua arti: (1) Jika seseorang tidak mengeluarkan hartanya untuk diri dan keluarganya sesuai dengan kemampuannya; (2) Jika seseorang tidak membelanjakan sesuatu apapun untuk tujuan tujuan yang baik dan amal.

Menurut Afzalur Rahman[4], Orang kikir itu dianggap melakukan tiga kejahatan: Pertama, Mereka tidak bersyukur kepada Allah. “Dan jangan sekali-kali orang-orang yang kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya, mengira bahwa (kikir) itu baik bagi mereka, padahal (kikir) itu buruk bagi mereka” (Qs 3: 180).

Kedua, yang dilakukan orang kikir adalah “Menahan kekayaan dari komunitasnya”. Kekikiran sama dengan menyia-nyiakan harta masyarakat yang sebenarnya dapat dimanfaatkan dengan lebih baik untuk melakukan kegiatan produksi guna mendapatkan kekayaan selanjutnya.

Ketiga, dengan menahan kekayaannya, mereka bertanggungjawab terhadap turunnya tingkat konsumsi, dan karena itu menurunkan pula tingkat produksi yang pada akhirnya menurunkan lapangan kerja. “Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya” (Qs 104:1-3).

Prinsip keempat adalah Prinsip kemurahan hati.

Allah dengan kemurahan hati-Nya menyediakan makanan dan minuman untuk manusia (Qs al-Maidah, 5:96). Maka sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan kemurahan hati. Maksudnya , jika memang masih banyak orang yang kekurangan maka hendaklah kita sisihkan rezeki yang ada pada kita kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya. Tindakan ini sangat dimuliakan oleh Allah, dimana Allah menyediakan ganjaran yang besar, menghapuskan dosanya, menghilangkan rasa ketakutan dan kesedihan dari orang yang berinfaq tersebut. (Qs 2:261-274).

M Fahim Khan memberikan ilustrasi pengeluaran seorang muslim sebagai berikut:

Jika pendapatan perbulan adalah Rp 10 juta, dan kebutuhan minimum sebesar Rp 8 juta, maka sisanya Rp 2 juta mestinya diinvestasikan untuk akherat (diinfaqkan). Pengeluaran yang Rp 8 juta ini harus dibelanjakan untuk barang-barang yang maslahat (berguna) dengan memaksimumkan kemaslahatan pengeluaran tadi. Secara grafik dapat dilihat sebagai berikut:




Prinsip kelima adalah prinsip moralitas.

Allah memberikan makanan dan minuman untuk keberlangsungan hidup umat manusia agar dapat meningkatkan nilai-nilai moral dan spiritual.

Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terimakasih setelah makan, berdoa sebelum memakai pakaian, dan berdoa ketika memasuki rumah. Dengan demikian, ia akan merasa kehadiran Ilahi sewaktu memenuhi kebutuhan fisiknya.

Penutup

Lima prinsip konsumsi diatas, yaitu: prinsip keadilan, kebersihan, kesederhanaan, kemurahan hati dan moralitas, semuanya didasarkan pada kebutuhan (needs) bukan keinginan (wants). Kebutuhan sifatnya terbatas, sedangkan keinginan tidak terbatas. Jika setiap muslim berusaha untuk memenuhi kebutuhan (bukan keinginan), maka Insya Allah, Kekayaan akan bersemayan di dalam dirinya (Qs 65:2-3). tetapi, jika berusaha untuk memenuhi keinginan yang sifatnya tidak terbatas, maka sesungguhnya, dialah orang miskin yang nyata. “Jauhilah oleh kalian sifat Tamak, karena sesungguhnya sifat Tamak adalah kefakiran yang nyata” (HR Thabrani).

--- Wallahua’lamu bishawab ---


[1] Disampaikan pada diskusi Ulil Albaab Institute, 21 Maret 2010 di Bogor.

[2] Dosen tidak tetap di International Islamic University Islamabad, Pakistan.

[3] Muhammad: Encyclopedia of Seerah, 1981. The Muslim School Trust, London, Inggris.

[4] Ibid.

0 komentar:

Posting Komentar